Pada kesempatan ini, Early mau sharing dari kuliah umum yang dihadiri oleh Prof. Dr. Marteen Bavinck dan University of Amsterdam dan Dr. Pujo Semedi Harjo Yuwono dari Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kuliah umum tersebut, merupakan kuliah umum pertama yang Early ikuti ketika menjadi mahasiswa baru UGM ini. Meski yang mengadakan adalah Fakultas Geografi UGM, karena kuliah itu kuliah umum dan terbuka (gratis) untuk mahasiswa lintas jurusan serta kebetulan Early memiliki interest dengan topik yang dibahas ditambah lagi pembicaranya adalah dosen tamu dari LN, maka kesempatan itu tidak Early sia-siakan hehehe. Early ingin menambah wawasan dalam bidang ilmu yang lain, karena ilmu kita yang dimiliki pada jurusan masing-masing nantinya saling berhubungan dengan disiplin studi dari jurusan lain. Semoga nantinya wawasan dan pandangan baru yang diperoleh dapat semakin membuka mata kita sebagai cendekia-cendekia muda bahwa kontribusi kita untuk berkarya sangat dibutuhkan untuk berbagai bidang yang ada.
Lanjut, kita membahas pada kuliah umum yang pertama kali Early ikuti ini. Kuliah umum yang diadakan 4 Oktober 2016 bertempat di Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM mengusung tema “An International Overview towards Geo-Maritime Studies for Developing Countries-Indonesia. Hal khusus yang menarik minat Early mengikuti kuliah umum ini adalah topik permasalahan Geo-Maritim Indonesia yang tengah ramai diperbincangkan publik. Early ingin tahu bagaimana cara pandang Profesor Belanda terhadap Indonesia yang notabene berdasarkan sejarah merupakan wilayah bekas jajahannya. Acara kuliah umum ini berlangsung pukul 13.00 WIB dengan dihadiri kurang lebih 100 peserta dari berbagai fakultas dan program studi.
Pembukaan acara ini diisi oleh beberapa sambutan dari petinggi-petinggi Fakultas Geografi serta dari kedua keynote speakers. Pada pembukaan, Dr.Pujo menerangkan tentang keterkaitannya studi geografi dengan ilmu budaya. Di sini Early mendapat kan informasi baru bahwa awal mulanya fakultas geografi UGM berinduk dari Fakultas Ilmu Budaya (Antropologi). Selanjutnya Prof Bavinck menerangkan bahwa yang akan dibahasnya adalah Geo-Maritime dalam sudut pandang Fishers. Namun sayangnya, Prof Bavinck tidak memberikan sudut pandang untuk Indonesia, melainkan pada India yang menjadi fokus penelitiannya. Meski demikian, Early tetap menikkmati rangkaian kuliah umum ini sambil menjejali otak dengan informasi-informasi baru.
Pembicaraan dibuka oleh Prof. Marteen Bavinck sebagai keynote utama kuliah umum ini. Beliau menerangkan tentang pentingnya studi mengenai coastal (pesisir) dan keterkaitan antara mobilitas dengan kehidupan manusia dan kepesisiran. Mobilitas merupakan perpindahan geografis dan sosial yang terjadi karena faktor teknologi, kapital, masyarakat, hukum, maupun barang-barang. Sementara dalam sudut padang fisher natural mobility dikhususkan pada perpindahan ikan dan distribusi ikan-ikan yang berharga jual tinggi. Para fishers tentu akan mengikuti pola keberadaan ikan, terutama ikan-ikan yang berharga mahal seperti tuna yang melakukan migrasi secara internasional. Sehingga mobilitas fisher juga bisa dipahami sebagai mobilitas berskala internasional. Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia sebagai produsen ikan. Sementara india menempati posisi ketujuh. Kenyataan ini cukup sesuai karena jumlah fisher di Indonesia menjadi 2,4 juta dari total di dunia berada pada angka 3,8 juta. Kenyataan ini pun juga didukung dari potensi SDA Indonesia sebagai negara kepulaan yang memiliki garis pantai terpanjang. Konsentrasi ikan-ikan juga berada di continental shelf dimana struktur geologi tersebut banyak dijumpai di perairan Indonesia.
Selain itu, Prof Bavinck juga menerangkan tentang perkembangan fisher dalam lingkup internasional. Pertama fase pertengahan abad 19 dimana masih menggunakan teknologi sederhana, masih terbatas pada masyarakat-masyrakat pedesaan yang terisolasi serta masih kuatnay campur tangan pemerintah dalam hukum pemencingan ini. Fase kedua adalah fase revolusi industri pada fisher yang terjadi memang bersamaan denga revolusi industri Inggris sekitar tah 1880. Kemudian diikuti di wilayah lain yang baru muncul di tahun 1945-an. Pada era industri ini, dunia perikanan juga mengalami perubahan seperti dalam hal penggunaan pendingin (refrigerator) penggunan net (artifical fibre) dalam penangkapan ikan, serta penggunaan teknologi dan motorisasi. Sehingga konsekuensi yang terajdi aktivitsa pemancingan menjadi lebih luas di setiap garis pantai, kapal-kapal penangkap ikan menjelajah ke perairan lebih dalam. Tidak salah lagi jikalau sekarang muncul ungkapan : No part of the ocean is now uncovered. Inilah konsekuensi dari fase industri pada bidang perikanan yang sampai sekarang masih terjadi.
Fase terakhir trend terakhir dari perkembangan dunia perikanan adalah fase globalisasi. Pada fase ini terjadi integrasi internasional tentang maritim dan peningkatan kebutuhan ekspor akan hasil-hasil laut. Konsekuensi yang diterima dari fase ini adalah kebutuhan peningkatan modal untuk meningkatkan produksi, bidang pemancingan menjadi sektor investasi, adanya perjanjian internasional untuk menyusun hukum penangkapan ikan yang baru karena para pemancing atau penangkap ikan ini memiliki kontribusi dalam pengembangan alam. Prof. Bavnick kemudian memulai ceritanya mengenai dunia pemancingan di India, yang masih menggunakan hukum Inggris pada tahun 1947. Di India sendiri juga muncul konflik antara nelayan skala besar dan kecil, serta muncul krisis lingkungan yangditandai dari 40% ikan sudah terkategori under fished. Di India terdapat lebih dari 5000 kampung nelayan, lebih dari 15 lautan untuk penangkapan ikan, dan setiap bagiannya mengembangkan hukum penangkapan ikan tersendiri. Prof. Bavinck lebih menekankan permasalahan di India sehingga feedbacknya untuk Indonesia belum bisa dimaknai. Namun, Prof Bavinck juga menyampaikan hal-hal yang bersifat umum seperti The Blue Revolution in Fishermen yang di dalamnya menmuat pengenalan teknologi (trawl technology from Europa), pendingin, artifical fibre, pengembangan pasar (eskpor) dan draf-draft pemerintah untuk hukum pemancingan ini dalam menanggapi konflik-konflik yang terjadi. Kembali lagi pada pernyataan dimana fishing menyangkut social mobility and geographical mobility. Saat ini mobilitas sosial seorang nelayan sangat terkait dalam hal kasta sosial. Hal ini ditandai dengan penghargaan sebagai seorang nelayan yang masih sangat kecil, eksistensi profesi sebagai seorang nelayan masih dipandang rendah. Bahkan, di India para nelayan sangat malu dengan identitas profesinya ketika harus tercantum profesi fishermen dalam daftar nomor telepon di wilayahnya. Maka, saat ini banyak nelayan muda yang meninggalkan pekerjaan keturunan sebagai nelayan. Para nelayan muda yang meruapakan anak nelayan ini ingin melepas mata rantai profesi ayah mereka menjadi nelayan lagi. Mereka tentu ingin kasta sosial keluarga tidak dipandang remeh lagi sebagai seorang nelayan (meski kita tahu bahwa seorang nelayan sangat penting adanya sebagai penyedia ikan yang sangat dibutuhkan untuk zat gizi tubuh). Akhirnya anak-anak nelayan tersebut bisa lebih mengeksplorasi diri, menuntut ilmu lebih luas, menggapai cita lebih tinggi. Mereka sudah banyak berhasil menduduki jabatan dan profesi lain yang dirasa penitng dan mendapat wadah dalam masyarakat, karena dilihat lagi kenyataan di India seorang fishermen tidak bisa atau sulit sekali mendapat amanah atau pekerjaan sampingan lain.
Sebagai penutup kuliah yang diberikan oleh Prof. Bavinck, beliau memberikan refleksi terkaithal perikanan yang memiliki pengaruh dari segi geografis dan sosiologis. Pertama mobilitas-mobilats yang penting terjadi pada para nelayan di dekade belakangan ini. Kedua, telah terjadi perubahan wujud dan sistem penangkapan ikan di seluruh dunia. Ketiga, sebaiknya diberikan kesempatan mendapat pekerjaan lain untuk para nelayan. Namun, pernyataan ketiga ini masih menemui dark clouds ( awan-awan mendung penghalang)
Kurang lebih waktu satu jam sudah berlalu, Prof Bavinck menutup kuliahnya diiringi tepuk tangan dari audiens. Diskusi masih berlanjut, kini giliran Dr. Pujo memberikan paparan fishering dari sudut pandang Indonesia. Sebenarnya, ada sedikit kekecewaaan ketika. Prof Bavinck sama sekali kurang menyinggung masalah peikanan di Indonesia, karena Early kira awalnya Prof Bavinck, sebagai seorang Belanda, dapat mengomentasri sepenggal mengenai Indonesia yang cukup dekat sejarahnya dengan negeri kincir angin tersebut. Namun, tak masalah lah, toh akhirnya ada Dr. Pujo yang berhasil menerangkan dengan sederhana dan menarik dari sisi Indonesianya. Dr. Pujo mengawali ceritanya dari sejarah kaum nelayan di Jawa. Di Jawa, istilah ikan ini masih dianggap kurang penting lantaran fungsinya sebagai lauk pauk masih kalah populer dengan tahun tempe, telur, bahkan kerupuk yang lebih familiar dikonsumsi masyarakat Jawa. Masyrakat Jawa merasa sudah cukup mendapat asupan protein nabati yang umumnya lebih mudah didapatkan melihat perkembangan agraria di Jawa cukup pesat. Namun, seiring waktu, ketika Belanda kembali menjajah (Indonesia diambil alih dari pemerintahan kolonial Inggris ke Belanda) terdapat perubahan yang cukup drastis mengenai pola pikir ikan sebagai lauk pauk. Ketika Belanda telah menerapkan cultuur stelsel (sistem tanam paksa) wawasan kaum pribumi menjadi lebih terbuka. Mereka lebih mengetahui masalah mata uang, pencaharian, barang-barang, dan lainnya. Meski adanya penyimpangan cultuur procenten, namun secara umum kehidupan mereka sudah lebih maju dari sebelum-sebelumnya. Sehingga pasca diberlakukannya ssitem tanam paksa, masyarkat nelayan mulai terbentuk, kaum-kaum pencari ikan di utara Jawa mulai bergairah melakukan aktivitasnya. Hingga akhirnya di tahun 1960-an terjadi over fishing di laut Jawa. Para nelayan pesisir utara Jawa pun melakukan ekspansi daerah penangkapan hingga ke selat Karimata bahkan Laut Natuna. Kemudian Dr. Pujo melanjutkan ceritanya tentang penggunaan pukat harimau. Awalnya ditempatkan di Bagan Siapi-api (Selat Karimata). Lalu dipindahkan ke Jawa untuk memburu udang. Penggunaan pukat diketahui pemerintah rezim Soeharto, sehingga dilarang habis-habisan. Di tahun 1995 nelayan jawa membuat mini troll mini pukat), niat mereka adalah ingin mengembangkan teknologi. Tetapi, ternyata mini troll itu uga bersifat merusak seperti halnya pukat. Akhirnya mini troll itu dilarang mulai pemerintahan Gus Dur. Selanjutnya sampai sekarang penggunaan pukat berganti tempat ke arah perairan Papua.
Sekitar pukul 15.00 diskusi dan materi yang diberikan kedua keynote speaker pun usai. Tiba saatnya sesi tanya jawab. Peserta cukup antusias memberikan pertanyaan dan tanggapain mengenai topik yang diperbincangkan. Diantaranya ada yang bertanya mengenai termasuk apakah mobility seorang fisher apakah termasuk horizontal atau vertikal? Mengapa di Samudera Hindia tidak digunakan sebagai daerah tangkapan ikan melihat kebutuhan ikan di Indonesia masih cukup tinggi. Bagaimana pandangan tentang ilegal fishing di negara berkembang? Dari pertanyaan itu semua bisa terjawab tuntas baik oleh Prof Bavinck maupun Dr. Pujo. Beberapa jawaban dan tanggapannya adalah Mobilitas para nelayan merupakan mobilitas horizontal sementara jika dipandangan sebagai mobilitas vertikal itu masih terkesan relatif apakah nelayan itu akan menjadi nelayan dengan tangkapan dan armada yang besar atau tidak? Lalu alasan Samudera Hindia tidak digunakan sebagai daerah tangkapan ikan dikarenakan kondisi geografi Samudera Hindia sendiri yang merupakan laut dalam, sementara konsentrasi ikan berkumpul ada di perairan dangkal yang masih terjangkau sinar matahari sehingga masih lebih banyak terkandung nutrisi. Sementara dari segi tangkapan ikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak yakni 6,9 juta/tahun tetapi yang menjadi masalah dari jumlah yang besar itu banyak pula yang dicuri oleh negara asing. Lanjut ke jawaban pertanyaan terkahir tentang illegal fishing, Prof. Bavinck menyatakan batasan apa yang menjadi kebijkan itu dipandang illegal. Tentu setiap pemerintah memiliki kebijakan dan aturan main masing-masing. Ketika di India, Illegal Fishing yang menggunakan troll hanya ada di sebagian wilayah Srilanka.
Beberapa hal yang menjadi perhatian dan perlu ditambahkan dalam diskusi ini adalah penekanan pada pentingnya ikan sebagai bahan pangan umat manusia. Mengapa kita perlu menangkap ikan? Mencari ikan ke negara-negara lain untuk mendapatkan ikan-ikan tertentu yang mobilitasnya hingga ke ranah internasional. Nah, itu mungkin sedikita tambahan dan penekanan yang belum tersampaikan pada diskusi di atas. Meski demikian, semoga wawasan baru yang didapat menjadi pengalaman tersendiri dan membuka aspirasi serta inspirasi baru dalam menyikapi kondisi fishers di Indonesia.