To Find The Identity of City

Assalamualaikum..hai bloggers jumpa lagi..dengan Early bloggers..nah kal iini Early mau repost hasil seminar yang sempat Early ikuti di Surabaya. Wiw..di Surabaya ya? (wkwkwk) semianar ini memang Early ikuti nggak semata-mata ikut seminar aja (ya masa jauh-jauh ke Surabaya cuma ikut seminar). Jadi, seminar di Surabaya ini Early ikuti dalam rangkaian lomba Essay tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa FISIPOL Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Kebetulan, essay yang Early daftarakan untuk lomba berhasil masuk ke 15 besar sehingga berkesempatan deh jalan-jalan ke surabaya untuk presentasi dan mengikuti seminar atau talkshow ini. Rangkaian acarayang bertajuk Airpo 2.0 mengambil tema “ To Find the Identitiy of City”. Jadi tujuan utama acara ini agar para peserta bisa ikut membangun dan berkontribusi bagi kemajuan kotanya, agar potensi-potensi kota lebih terangkat dan maintance kota serta preservasi nilai-nilai luhurnya tetap terjaga dengan baik. Oleh karena itu, tidak salah kalau tema-tema essay yang ditawarkan juga berkaitan dengan perkotaan seperti infrastruktur perkotaan, demokrasi perkotaan, wanita perkotaan, dan permasalahan kemiskinan.

Ok, lanjut aja ke talkshownya yaa hehe..jadi talkshow yang diselenggarakan 11 November 2016 juga bisa dikatakan sebagai acara puncak dari Airpol 2.0 ini. Sebenarnya talkshownya bakal heboh sih soalnya pembicaranya keren-keren,, salah satunya Ibu Rofifah Menteri Sosial kita, tetapi entah mengapa salah satu almunus kebanggan Universitas Airlangga tersebut urun hadir di tengah-tengah diskusi. Akhirnya, pembicara yang bisa hadir adalah Emil Dardak Bupati Trenggalek-yang sedang naik daun karena prestasinya membawa kemajuan Kabupaten Trenggalek, lalu ada Bapak Ahmad Rivai penggagas salah satu web kotakita dan ada juga Wakil gubernur Jawa Timur serta perwakilan dan BPBD Kabupaten Banyuwangi. Acaera yang dimulai sekitar pukul 13.00 ini dibuka oleh Prof. Djoko Santoso beliau adalah wakil rektor I UNAIR.

Dalam pidato pembukaannya ada qoute-quote menarik yang disampaiakan Prof. Djoko Santoso ini, diantaranya adalah, “ketika kita tidak mampu bertahan pada dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi dunia maka di saat itulah kita berda dalam kondisi ‘sakit’”. Beliau jug amenyampaikan bahwa meski kita berasal dari disiplin ilmu yang berbeda tetapi, “untuk menjadi leader yang unggul, kuasailah ilmu masing-masing”, artunya kita memang diperintahkan untuk fokus pada disiplin ilmu kita, agar disiplin ilmu tersebut kita pahami secara mendalam. Lalu, terkait dengan aktivitas mahasiswa Pro. Djoko juga menyarankan, “kejarlah pengalaman hidup yang real, yang sangat produktif”. Lanjut sebagai wejangan penutup, beliau menambahkan “yang harus dipegang adalah pandai karena setiap contoh yang diberikan harus ada dasarnya, yang dianalisa adalah data dan faktual atau realita. Berfikirlah 360 derajat, jangan parsial, agar kita menjadi pemenang”.

Usai pembukaan, acara diselingi dengan hiburan oleh suara merdu dari kakak-kakak FISIPOL UNAIR. Kemudian dilanjut ke acara inti talk show oleh pembicara pertama yakni Bapak Emil Dardak. Talk show ini dimoderatori oleh Bapak Dr. Kris Wibowo sebagai kepala Departemen Politik FISIP UNAIR. Dalam diskusi di round pertama ini Bapak Emil Dardak sangat antusias sekali memancing kami, para mahasiswa dan peserta untuk benar-benar terlibat dalam talk-show , seperti dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan dan mendengar jawabannya bersama. Bapak Emil memang lebih banyak menceritakan tentang Kabupaten Trenggalek yang dipimpinnya saat ini. Namun, masih ada intisari dan pembicaraan yang mencakup ide global suatu perkotaan. Dari ceritanya, beliau mengungkapkan bahwa, sebuah kota adalah hasil dari pemekaran suatu kabupaten. Di Kabupaten Trenggalek sendiri terdapat Kota Kawedanan yang berada di daerah Panggul. Nah, kalau untuk masalah identity perkotaan sendiri biasanya secara mata awam akan dipandang melalui landscape alam. Namun, sebenarnya tidak hanya itu, identity yang terpenting adalah tujuannya untuk menjadi tulang punggung perkotaan. Seperti hal nya tujuan identity itu bagi Kabupaten Trenggalek.

Menurut Bapak Emil Dardak, sebelum merumuskan identity suatu perkotaan perlu disusun pula visi janka panjang kota tersebut. Sehingga identity yang telah terbangun akan sesuai dengan tujuan utama (hakikat suatu identity) yang dijelaskan Bapak Emil yakni sebagai konstruk sosial (membangun sense) dan marketing ke luar. Dalam memebuhi tujuan untuk marketing ke luar maka kita perlu mencari sektor yang unik pada perkotaan. Nantinya hal tersebut akan mendorong industri terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) masyarakat perkotaan dan mendorong pariwisata. Daerah yang fokus pada sektor pariwisata maka hasil UKM nya harus digalakkan melalui publikasi.

Bapak Emil Dardak mula mengawali ceritanya tentang Trenggalek yang diharapkan dapat menjadi role model, ketika beberapa kota sudah emmiliki identity nya contoh Banyuwangi “The sunrise of Java”, Solo “the spiririt of Java” lalu Trenggalek apa? Sebenarnya tidak banyak yang langsung bisa dibanggakan oleh Kabupaten yang terletak di selatan Jawa ini. Sebenarnya Pak Emil Dardak juga sedikit bingung dan tidak mau gegabah mencari identity kabupaten yang dipimpinnya itu. Hingga akhirnya muncul klausul Southern of Paradise. Sebutan itu bukan serta muncul, melainkan dari hasil olah pemikiran terhadap situasi dan kondisi Kabupaten Trenggalek. Jadi, menurut Bapak Emil, Trenggalek itu nggak cuma terkenal sama Pantai Periginya, karena kalau mau diadu wisata pantai, masih banyak kota-kota di pesisir selatan yang pantainya bagus-bagus. Lalu di Trenggalek juga banyak wisata kuliner contohnya Ayam Lodo yang sudah world heritage dalam hal benda. Lanjut lagi, fakta tentang Trenggalek kalau Kabupaten ini baru saja menjadi Juara 1 Batik Nasional dengan Batik Warna Alam. Oleh karena banyaknya karakteristik Trenggalek dan prestasinya akhir-akhir ini, maka pilihan klausul Southern of Paradise dirasa cocok bagi Bapak Emil untuk menjadi identitiy Trenggalek yang akan membawa kemajuan pada Kabupaten tersebut. Sebagai penutup, Bapak Emil memberikan pesan bahwa prestasi suatu perkotaan yang ada secara insidental itu perlu dikapitalisasi agar menjual dan menjadi promosi identitas kota yang diangkat.

Pembicara kedua adalah Bapak Ahmad Rivai, yang lebih menerankan masalah segi sosial perkotaan. Beliau langsung menceritakan tentang studi kasus revitalisasi kampung kota yang ada di Solo. Saat ini masyarakat mulai resah dari segi sosial kota, dalam hal nilai-nilai luhur atau adat istiadat yang mudah pudar di lingkungan perkotaan tertentu, padahal awal mula kota itu terbangun berkat nilai filosifis historisnya. Contoh yang di Solo ditunjuk, karena Kota Solo sebenarnya tumbuh dari enclave-enclave di bantaran Sungai Bengawan Solo, mereka membangun identitas kampung yang dulu, lalu mengembalikan identitas sosial itu. Namun sekarang, masyarakat pribumi pencetus Kota Solo terasa terpinggirkan.

Lain halnya, pada kasus Kota Surabaya saat ini. Menurut Bapak Rivai penyematan identitas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan dilakukan secara arbitence (tanpa konsensus). Meski demikian, Surabaya secara historis mempunyai hak untuk identitas itu karena adanya salah satu persitiwa sejarah Pertumpuran 10 Novemebr 1945 di kota tersebut. Namun, masalah yang timbul sekarang adalah preservasi dari identitas itu, keberlanjutannya pada kondisi Suarabaya sekarang yang masih dipertanyakan ke-relevanannya. Nah, masalah identitas Surabaya ini lah yang paling banyak diperbincangkan dan diungkit-ungkit dari awal rangkaian acara Airpol 2.0. Agaknya panitia Airpol (masyarakat Surabaya sendiri) ingin mendapat pencerahan dan rekomendasi dari teman-teman peserta menegnai pemulihan identitas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan (?)

Forum diskusi di ronde-ronde selanjutnya,kurang Early perhatikan lantaran schedulle dari panitia yang mengharuskan Early bersiap mengikuti rangkaian acara selanjutnya (Dinner di Kantor Walikota Surabaya). Tetapi, Early masih sempat catat beberapa poin penting dari cerita perwakilan BPBD Banyuwangi, diantaranya tentang konsolidasi dalam pembangunan infrastruktur. Mereka bahu-membahu bersama mengerjakan proyek (meski tidak semuanya), memamntau penggunaan, mengkaji dan menganalisis kebutuhan infrastruktur apa untuk kemajuan Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi juga sudah ada yang melakukan segmenatsi dalam hal keperluan infrastruktur tersebut. Segmentasi yang diperoleh merupakan hasil demand para turis, jadi ada ebberapa turis negara Eropa yang senang jalan terjal, ada turis cina yang lebih suka jalanan halus. Semua itu dapat diatur dan direncanakan sehingga pembangunan infrastruktur yang ada di Banyuwangi sangat mengakomodir keinginan wisatawan yang harapannya dapat lebih menambah kepuasannya mengunjungi Kabupaten tentangga Provinsi Bali ini.

Sementara pokok pembicaraan yang diangkat oleh Bapak Wakil Gubernur Jawa Timur lebih ke masalah segi teoritis dan fakta-fakta menegani perkotaan dan kondisi sosial perkotaan di Indonesia. Beliau menampilkan slide power point yang sangat padat dan penuh makna. Namun, sayang agaknya Early sangat kehabisan waktu di sesi itu sehingga hanya sempat Early foto dari kejauhan hehe.

20161111_161307
berfoto bersama Bapak Ahmad Rivai dan teman baru dari ITS

p_20161111_144809
Suasana ketika talkshow dengan pembicara Bapak Emil Dardak

p_20161111_163629
Suasana talkshow dengan pembicara Wakil Gubernur Jawa Timur dan perwakilan BPBP Banyuwangi

Semoga refleksi dan repost dari Talkshow di Surabaya in dapat menambah wawasan bloggers semua sehingga membuahkan aspirasi-aspirasi baru yang dapat membawa kemajuan perkotaan Indonesia.