Catatan ke Monumen Jogja Kembali

Kamis, 30 Maret 2017 sekitar pukul 15.00 saya mengunjungi Monumen Jogja Kembali (Monjali). Monumen tersebut dibangun untuk memperingati kembalinya Yogyakarta ke tangan Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Di dalam Monumen tersebut terdapat 3 lantai utama. Lantai 1 terdiri dari ruang pengelola, ruang museum, ruang perpustakaan, mushola, dan kamar mandi. Sementara lantai 2 dan 3 merupakan ruang diorama, ruang Garbha Graha, dan relief. Saya pertama kali mengunjungi ruang diorama di lantai 2. Diorama-diorama yang dipamerkan banyak mengisahkan tentang perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada masa itu masih banyak pergolakkan yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk merebut kembali Indonesia. Mereka melakukan penyerangan dengan segala cara, mulai dari melakukan pendudukan atas wilayah-wilayah hingga melakukan penyerangan langsung ke warga sipil. Diorama diorama tersebut membesitkan nafas kekuatan bersama para pahlawan bangsa dan rakyat dahulu untuk mengusir dengan tuntas para penjajah di bumi pertiwi. Mereka bersatu padu, bergerak bersama dalam berbagai cara (perjuangan langsung mengangkat senjata dan perjuangan tak langsung dengan diplomasi). Sehingga dengan persatuan yang terbangun, musuh terbesar saat itu berhasil hengkang dan kedaulatan Indonesia berhasil ditegakkan.

Selanjutnya, saya menuju ruang Garbha Graha, yakni suatu ruangan khusus untuk mengenang jasa para pahlawan. Ruangan tersebut cukup luas dihiasi relief di dinding atasnya. Di ruangan ini saya memperoleh suatu inspirasi dan refleksi diri bahwa perjuangan dalam mempersatukan dan menjaga kemerdekaan serta kedaulatan tanah air dari masa ke masa berubah sesuai tuntutan zaman. Sebelum Indonesia diakui kemerdekaannya, segenap rakyat berjuang giat dalam hal yang lebih menekankan kekuatan fisik (disimbolkan dari relief tangan yang memegang bambu runcing, di dinding sebelah kiri). Sementara saat ini, ketika Indonesia telah diakui kemerdekaan dan keberadaannya, perjuangan yang dilakukan harus lebih banyak menekankan pada kemampuan intelektual (disimbolkan dari relief tangan yang memegang pena, di dinding sebelah kanan). Pada masa kini, perjuangan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia harus dilakukan dengan taktik, startegi, dan kekuatan akal pikiran yang baik. Perjuangan saat ini lebih kompleks dan menantang karena kita harus mempertahankan kemerdekaan abadi (bebas dari intervensi negatif pihak asing) dengan semangat persatuan kebhinekaan.

Seusai mengunjungi ruang Garbha Graha saya keluar melihat barisan relief melingkar. Relief-relief tersebut banyak menceritakan tentang tema perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Selain gambar tentang penyerangan-penyerangan pasca kemerdekaan dan perjanjian-perjanjian yang ada, salah satu frame baru adalah relief tentang praktik pemberantasan buta huruf di era perang kemerdekaan dan pendirian perguruan tinggi Gadjah Mada di Yogayakarta (sekarang dikenal dengan Universitas Gadjah Mada). Hal ini menyiratkan pesan bahwa pendidikan menjadi bekal untuk memajukan bangsa. Pada masa kini, para cendekiawan sangat berkiprah dalam hal konsolidasi, diplomasi, dan kerjasama antara Indonesia dengan negara lain. Selain itu, peranan para intelektual juga sangat penting dalam membangun suatu pandangan dan misi yang sama untuk kemajuan Indonesia.

Di lantai 1 terdapat empat ruang museum. Ruang museum 1 menggambarkan susana perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Ruang museum 2 menceritakan tentang minuatur senjata dan kendaraan yang memiliki andil besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Ruang museum 3 menggambarkan tentang kiprah para pahlawan yang berperan dalam perang kemerdekaan. Mereka tidak membedakan asal dan latar belakang mereka. Tetapi mereka memiliki semangat juang yang sama untuk menumpas penjajah dari tanah air. Beberapa pahlawan tersebut di antaranya adalah Jenderal Soedirman, Ir. Soekarno, Sultan HB IX, dan beberapa tokoh pemuka agama. Ruang Museum 4 lebih banyak memamerkan tentang perabot-perabot yang digunakan di lokasi dan tempat-tempat tertentu yang erat dengan perang pasca kemerdekaan.

Akhirnya, suatu pesan yang dapat dialmbil dari lawatan ke Monjali ini adalah menjiwai kembali semangat perjuangan mempertahankan kemedekaan, kedaulatan, dan persatuan Indonesia di masa kini. Jika dahulu hal ini terasa mudah, dikarenakan seluruh rakyat Indonesia memiliki common enemy (musuh bersama) yakni penjajah (Belanda), pada masa kini dan masa yang akan datang, di tengah suasana kemerdekaan Indonesia kita juga dapat membawa semangat common enemy untuk menjaga persatuan dalam mempertahankan kemerdekaan. Common enemy untuk saat ini dan masa datang dapat berbeda, disesuaikan dengan tantangan zaman.Common enemy tentunya merupakan tantangan bangsa yang menjadi masalah bersama atas dasar visi misi yang tunggal. Hal demikian, menjadi tanggung jawab besar bagi kaum intelektual terutama penerus bangsa untuk menanamkan rasa persatuan, solidaritas nasional, dan nasionalisme yang membawa Indonesia pada ranah persatuan mencapai kemajuan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published.