Selasa, 2 Mei 2017 menjadi hari Pendidikan Nasional pertama yang saya rasakan di bangku Pendidikan Tinggi, di salah satu kampus dambaan siswa-siswi Indonesia, yang menyandang julukan Kampus Kerakyatan. Pada hari yang istimewa untuk segenap elemen pendidikan termasuk saya dan rekan-rekan, hari ini menjadi momen tersendiri bagi kami untuk bersuara. Ya, ibarat hari buruh kemarin, banyak dari kami yang akan memberikan aspirasi tentang Pendidikan di Indonesia saat ini. Terlepas dari istilah aksi, turun ke jalan, dan mimbar bebas, saya duduk di kursi dan meja belajar kamar ingin ikut berbagi cerita dan perasaan tentang ketimpangan pendidikan di negeri kepulauan.
Bukan maksud saya tak menghargai teman-teman….yang siang ini mungkin sedang turun ke jalan, berdiskusi secara terbuka menuntut hak dan mempertanyakan kewenangan. Ya, saya sadar dan paham betul. Setiap pemuda memiliki cara masing-masing menyuarakan aspirasinya. Saya berharap aksi di sana membuahkan hasil yang nyata bukan korban atau dengusan kesal tanpa jawaban. Saya juga tak bermaksud melawan keberpihakan. Saya masih inginkan keadilan, transparansi, dan kesetaraan. Saya berdoa dalam tulisan ini, semoga perjuangan rekan-rekan dalam berbagai cara (kebaikan) benar-benar berbuah kemenangan abadi dalam memperjuangan kemudahan akses pendidikan, dalam meningkatkan gelora perjuangan untuk kehidupan bangsa yang lebih baik, berkualitas, melalui sumber daya-sumber daya manusianya yang dapat diandalkan.
Namun, ketahuilah rekan, di sisi lain dari semangat menggelorakan hak pendidikan. Ada satu celah dari bumi pertiwi yang masih buta harapan ilmu dan kebajikan. Di suatu pulau yang dianugerahi banyak kekayaan tambang, yang dahulu dikenal hingga menjadi bahan ekspor ke negeri jiran. Saya tak sanggup mengatakannya dengan gamblang daerah mana yang saya sembunyikan. Intinya, luka hati saya mulai timbul ketika pemuda-pemuda seusia saya dan rekan-rekan lebih memilih langsung bekerja turun ke lapangan. Ya, semua itu tidak salah, karena semua itu adalah pilihan. Namun, saya tak habis pandang betapa bahagianya dan berharganya jika mereka bisa melanjutkan bersekolah bahkan hingga ke pendidikan tinggi seperti saya dan rekan-rekan. Mereka bisa dibekali ilmu dan kepemimpinan, ketangkasan, dan keahlian lebih dalam mengelola daerahnya yang kaya bahan tambang. Mereka bukan menjadi kuli seperti seakrang ini, tetapi merekalah yang memiliki dan mengelola sendiri. Mereka akan lebih terhormat, meski tidak harus lekas menjadi pejabat. Namun, mereka bisa cakap mengenali daerahnya, mempertahankan kepemilikannya, mereka tidak akan dikelabui musuh atau para pengusaha asing licik. Lihat, mereka sebenarnya mampu untuk itu kawan. Itukah yang salah satunya menajdi mimpi kiat semua? ketika masing-masing dari elemen bangsa mempu memperjuangkan bangsanya dari berbagi sudut dan bidang.
Sungguh, saya sebenarnya miris sendiri, ketika saya melihat mereka menjawab pilihan itu demi uang dan kesenangan instan. Ya, mereka berhati mulia ingin menyekolahkan saudara-saudaranya, ingin membantu kehidupan keluarga. Tetapi di sisi lain, bukankah seharusnya mereka bisa lebih diperhatikan? Mereka juga masih butuh pendidikan. Kenyataan ini memang tidak langsung berkaitan dari aksi damai menagih janji rekan-rekan. Tetapi adalah suatu hubungan linear yang sedikit jauh sesuai dengan cita-cita rekan-rekan. Yang mungkin, tetap perlu dikombinasikan dengan sosialisasi dan kesepahaman. Kami ingin kemudahan dan kelonggaran akses pendidikan terutama bagi beberapa kalangan seperti yang saya ceritakan. Namun, kelonggaran dan kemudahan akses tidak cukup tanpa dibarengi dengan niat dan perjuangan, dengan semangat dan kesadaran menimba pundi-pundi ilmu untuk masa depan.
Oleh karena itu, di samping aksi mempertanyakan janji dan transparansi, perlu diingat tugas dan kewajiban rekan-rekan. Di dalam naungan pendidikan tinggi dengan segala fasilitas dan kesempatan. Manfaatkanlah hal berharga ini bukan hanya untuk cita-cita sendiri tetapi tebarkan kepada mereka yang masih tabu akan manisnya ilmu, yang masih bimbang akan pentingnya belajar lagi, karena kita tahu belum semua pemuda-pemudi Indonesia sadar akan pentingnya menjadi manusia berpendidikan. Mari, dengan semangat rekan-rekan yang tak ingin ada banyak beban dalam hal biaya pendidikan perlu juga diimbangi tentang tugas kita ini. Tugas dan tanggung jawab terbesar menjadi generasi penerus yang berwawasan, yang turut menjadi penopang bagi generasi lain yang masih kurang harapan. Mari kita perjuangkan pendidikan dan pemahaman pentingnya pendidikan secara merata ke pelosok negeri. Semoga dengan perjuangan linier ini, akan banyak tumbuh jiwa-jiwa yang kehausan timba-timba ilmu tuk melaju dalam kemajuan zaman.
Salam
Refleksi di Hari Pendidikan melihat dua fenomena antara di seberang dan di depan.
awesome